Search This Blog

Tuesday, April 29, 2014

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

MAKALAH
PENGETAHUAN LINGKUNGAN


LANGKAH DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

OLEH
KELOMPOK 4
KHAERUNNISA
ARBIANUS SEMBA
MUH. MULIADI




JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Perbincangan tentang “Pembangunan Berkelanjutan” atau “suistainable development” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru baik lihat secara globalmaupun nasional.  pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan dan mempunyai banyak gejala pada tatanan implementasi atau pelaksanaanya. Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan, dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66), menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi.
Bertepatan dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke–2 “(The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional, berikut skala prioritasnya.
Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep “Pembangunan Berkelanjutan. Pengeruh Konferensi Stocholm ini terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disyahkan oleh resolusi SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai “a first step in developing international environment law” .
Bagi Indonesia konsep ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru. Seminar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema yang sangat menarik “hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal” oleh Otto S. Dinilai sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Karena itu perbincangan tentang Pembangunan Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hingga  sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik.
1.2     Batasan permasalahan
Berdasarkan uraian diatas bahwasannya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Adapun yang dikaji didalam makalah ini adalah hubungan antara pembangunan berkelanjutan  kebijakan-kebiijakan nya.
1.3     Tujuan
          Adapun tujuan penulis membuat makalah ini untuk memenuhi syarat dalam perkuliahan dan juga sebagai pembelajaran bagi mahasiswa untuk dapat membuat suatu hasil dari pemikiran dan dijadikan dalam bentuk makalah.Kudian tujuan isi dari makalah ini adalah mengetahui pembanguan berkelanjutan di Indonesia dan langkah maupun kebijakan yang dikeluarkannya serta dampaknya.


BAB II
PEMBAHASAN

Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi menjadikan pertumbuhan ekonomi itu berada di atas manusia dan ekologi yang menjadi tumpuan kesejahteraan manusia. Aktivitas perusahaan hanya dilakukan untuk meningkatkan keuntungan pribadi, tanpa memperdulikan persoalan lingkungan hidup dan kepentingan masyarakat umum. Perusahaan demikian merupakan perusahaan yang menggunakan paradigma ekonomi konvensional. Berdasarkan paradigma konvensional, sumber kekayaan alam dikeruk tanpa memikirkan generasi yang akan datang. Kekayaan bumi ditambang habis, hutan digunduli, air sungai, dan laut dicemari. Semua hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Untuk itu diperlukan visi pembangunan yang mendahulukan kesejahteraan bagi masyarakat.
Visi pembangunan yang mendahulukan kesejahteraan bagi masyarakat, biasa dikenal dengan nama pembangunan berkelanjutan (sustainability development), yang dijelaskan oleh Korten sebagai berikut:
Adalah proses pembangunan dimana anggota masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusionalnya untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya dan menghasilkan perbaikan perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri.
Pembangunan berkelanjutan dapat dilihat sebagai suatu gerakan sosial, “suatu kelompok masyarakat dengan ideologi yang sama yang secara bersama-sama mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan umum tertentu.” Tapi yang mendasari partisipasi ini dalam acara formal internasional mengenai pembangunan berkelanjutan adalah sejumlah gerakan sosial yang berjuang untuk mengidentifikasi apa arti dari pembangunan berkelanjutan dalam konteks tempat dan masyarakat yang spesifik atau khusus. Gerakan semacam itu adalah usaha dari beberapa komunitas, negara, provinsi, atau daerah untuk terlibat dalam komunitas latihan untuk mendefinisikan masa depan berkelanjutan yang diinginkan dan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Tiga upaya terkait dengan gerakan dimaksud di atas adalah gerakan mata pencaharian yang berkelanjutan, gerakan solidaritas global, dan gerakan tanggung jawab perusahaan. Gerakan untuk mata pencaharian yang berkelanjutan berupa inisiatif lokal dalam menciptakan kesempatan kerja dan penghasilan yang menawarkan alternatif yang berkelanjutan dan sesuai terhadap proses pembangunan dan modernisasi saat ini. Contohnya yaitu kewajiban mengharuskan pembayaran “upah hidup” daripada upah minimum. Gerakan solidaritas global berupaya untuk mendukung warga miskin di negara berkembang. Kampanye tersebut dianggap sebagai antiglobalisasi atau “globalisasi dari bawah” dengan melakukan penilaian yang kritis terhadap lembaga internasional besar, dalam gerakan pembatalan utang, dan dalam kritik mengenai kebijakan negara maju, seperti misalnya subsidi pertanian, yang secara signifikan berdampak kepada negara berkembang dan khususnya warga miskin.
Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan pada intinya yaitu melihat dunia sebagai suatu sistem, yaitu sistem yang menghubungkan ruang udara, dan waktu. Pada saat kita memahami bahwa dunia ini merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dengan ruang udara, kita akan memahami bahwa polusi udara yang berasal dari Amerika Utara akan mempengaruhi kualitas udara di Asia, dan pestisida yang disemprotkan di Argentina dapat merusak atau meracuni stok ikan yang berada di lepas pantai Australia, sedangkan pada saat kita memahami dunia sebagai suatu sistem antar waktu, kita akan mulai menyadari bahwa cara bertani pada masa lalu di sebidang tanah akan terus mempengaruhi praktek pertanian hingga sekarang dan kebijakan ekonomi yang kita dorong sekarang akan memiliki akibat terhadap kemiskinan kota pada saat anak-anak kita dewasa.
Harus juga dipahami bahwa kualitas hidup juga merupakan bagian dari suatu sistem. Kualitas hidup sebagaimana dimaksud di atas dapat kita ilustrasikan bahwa tidak bagus apabila kita secara fisik sehat tetapi miskin dan tidak memiliki akses ke pendidikan, tidak baik apabila memiliki penghasilan yang cukup tetapi sebagian udara yang kita hirup tidak bersih, dan kebebasan beribadah menjadi tidak penting apabila kita tidak dapat menafkahi keluarga kita. Konsep sustainable development berakar pada sistem pemikiran sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut akan membantu kita untuk memahami diri dan dunia kita.
Untuk memahami mengenai pembangunan berkelanjutan, berikut ini pernyataan dari Paul R. Ehrlich dan Anne H. Ehrlich  mengenai hubungan antara aktivitas manusia dan alam:
Human beings and the natural world are on a collision course. Human activities inflict harsh and often irreversible damage on the environment and on critical resources. If not checked, many of our current practices put at serious risk the future that we wish for human society and the plant and animal kingdoms, and may so alter the living world that it will be unable to sustain life in the manner that we know. Fundamental changes are urgent if we are to avoid the collision our present course will bring about.
Dari pernyataan Paul dan Anne Ehrlich di atas, pada intinya menyatakan bahwa umat manusia dan dunia alam berada dalam jalur yang bertabrakan. Aktivitas manusia menimbulkan kerusakan yang berat terhadap lingkungan dan sumber daya yang penting dan bahkan tidak dapat di kembalikan kepada keadaan semula. Apabila tidak diperhatikan, maka aktivitas manusia tersebut dapat mengakibatkan resiko yang besar bagi masa depan manusia, tanaman, dan hewan. Dalam lingkup dan pengertian negara, aktivitas tersebut dapat dikatakan pembangunan.
Suatu pemahaman mengenai ide yang kompleks dari pembangunan berkelanjutan lebih baik dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang membandingkan asumsi pokok dan kepercayaan atas pembangunan ekonomi konvensional yang mempengaruhi keberlanjutan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Schumacher secara terus menerus, dan sebagai konsekuensi praktis, masing-masing pernyataan berikut adalah keliru:
1.      Meningkatkan pertumbuhan transaksi finansial dengan tidak pandang bulu akan menghasilkan keuntungan dan kesejahteraan bagi semua orang. (Padahal kenyataannya adalah kita dapat melihat bahwa hal tersebut malah memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan hanya sebagian kecil dari populasi dunia yang menikmati hasilnya karena teori “trickle-down” tidak berfungsi.
2.      Sumber daya alam dipercaya tidak terbatas, dan dapat dieksploitasi tanpa syarat; begitu juga dengan lingkungan yang tidak terbatas dalam kapasitasnya menopang aktivitas manusia dalam segala bentuknya. (Konsekuensi adalah bahwa sumber daya tida terbarukan yang penting cepat habis, dan lingkungan menjadi tidak stabil oleh aktivitas seperempat populasi dunia).
3.      Industri padat modal secara universal lebih efisien dan produktif dibandingkan dengan jasa perbaikan dan rekondisi buruh yang padat karya. (Kenyataannya yaitu sistem industri padat modal yang telah berproduksi sangat boros dan merusak lingkungan. Ia hanya ditopang beberapa kesalahan mendasar dalam hal penilaian terhadap produktivitas dan efisiensi).
4.      Mencari nafkah merupakan aktivitas yang pasti dilakukan. Semuanya dibutuhkan untuk memuaskan pekerja adalah imbalan keuangan yang wajar; sifat pekerjaan yang dibutuhkan tidak menjadi penting. (Konsekuensinya adalah kegagalan total untuk mengoptimalkan kontribusi manusia untuk menciptakan kesejahteraan sebagai gabungan dari manusia, uang, dan mesin. Upaya kreatif manusia lebih banyak yang dapat ditawarkan, apabila terorganisasi dan digunakan dengan benar, baik kepada ekonomi dan untuk kepuasan pribadi).
5.      Orang mempunyai rasa lapar yang tidak terbatas untuk memiliki. Selama mereka menyesuaikan diri dengan perubahan mereka adalah tanda yang dapat diterima dari status sosial dan makna pokok dari kepuasan pribadi. (Kenyataannya, sebagaimana dinyatakan oleh Fred Hirsch, nilai yang diletakkan oleh individu pada keinginan tertentu menurun dengan semakin luasnya mereka berbagi dengan orang lain. Pada saat keinginan menjadi frustasi mereka kehilangan daya tariknya, dan hidup menjadi serangkaian frustasi. Saat materi yang diinginkan telah dipuaskan, pemenuhan diri harus diperoleh dengan cara yang non-materi).
6.      Selama pertumbuhan dan/atau akibat yang baik didapatkan dengan melakukan penghematan, orang secara umum tidak terlalu peduli terhadap siapa yang berinvestasi maupun dengan tujuan apa niat mereka melayani. (Konsekuensinya yaitu kekuatan finansial perorangan telah diberikan kepada lembaga-lembaga keuangan non-perorangan; mereka menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri, yang sering tidak sesuai dengan keinginan nyata dari individu atau kebaikan masyarakat secara umum. Skema investasi yang etis mengindikasikan bahwa semakin banyak orang yang tidak senang menyerahkan pilihan investasi seluruhnya di tangan orang lain).
The World Scientist’ Warning to Humanity secara eksplisit menyatakan tentang apa yang dibutuhkan untuk menghindari tabrakan sebagaimana dimaksud di atas da n mencapai hasil yang diinginkan, terutama terkait dengan pencapaian tujuan dari sustainable development. Tindakan yang harus diambil dalam lima bidang yang terkait erat, yang dibutuhkan untuk menghindari tabrakan tersebut, yaitu:
1.      Mengontrol atau mengendalikan aktivitas yang dapat merusak lingkungan. Contohnya yaitu, beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan polusi terhadap udara dan air.
2.      Mengatur penggunaan sumber daya yang penting bagi kesejahteraan manusia dengan lebih efektif.
3.      Menstabilkan populasi, sehingga dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi. Cara yang digunakan, salah satunya, yaitu program keluarga berencana yang efektif dan sukarela.
4.      Mengurangi dan bahkan pada akhirnya menghapuskan kemiskinan.
5.      Memastikan kesetaraan gender dan menjamin kontrol wanita atas keputusan mereka mengenai reproduksi.
Sedangkan berdasarkan analisis struktural sistem dunia, pedoman umum sederhana untuk merestrukturisasi sistem dunia menuju keberlanjutan, tahapannya yaitu:
1.      Meningkatkan tanda-tanda, dengan cara meningkatkan pengawasan terhadap kesejahteraan umat manusia dan sumber daya lokal dan planet;
2.      Mempercepat waktu respon, yaitu secara aktif memperhatikan tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa lingkungan sedang berada dalam kondisi tertekan;
3.      Meminimalkan penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan;
4.      Mencegah terkikisnya sumber daya terbarukan;
5.      Menggunakan semua sumber daya yang ada dengan efisiensi maksimum; dan
6.      Memperlambat dan pada akhirnya menghentikan angka pertumbuhan populasi dan modal fisik.
Modal alam, sama seperti modal yang diciptakan oleh manusia misalnya pabrik-pabrik dan lain-lain, juga menghasilkan manfaat bagi umat manusia. Modal alam seperti misalnya tanah pertanian, hutan, sumber mata air, stok ikan, dan tanah basah, normalnya termasuk dalam sumber daya terbarukan, tetapi saat ini menghilang atau berkurang pada tingkat yang mengkhawatirkan karena diubah menjadi sumber daya yang tidak terbarukan. Memang jelas bahwa karena memperoleh posisi dominan dalam planet, umat manusia mengkonsumsi warisan modal alam yang berlimpah dalam jumlah yang besar. Banyak konsekuensi kerusakan lingkungan, termasuk kemungkinan goyahnya ketahanan pangan, dapat berasal dari hilangnya modal alam. Dan ironisnya, banyak hilangnya modal alam disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh pertanian itu sendiri, yang usahanya rentan terhadap kerusakan lingkungan.
Faktor penyebab utama dari dampak lingkungan yang terjadi yaitu pengaturan sosial tertentu, politik, dan ekonomi yang memfasilitasi atau bahkan mendorong tingginya tingkat konsumsi. Semua orang berkontribusi dalam jalur yang bertabrakan tersebut, tetapi beberapa orang berkontribusi lebih dari yang lain, yaitu orang kaya di dunia dengan kekayaan yang besar dan kekuatan kolektif mereka, bukan oleh orang miskin yang merupakan mayoritas. Akibat dari ketidaksetaraan ini memiliki implikasi besar terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan juga strategi yang berbeda yang diperlukan dalam membangun masa depan yang sustainable atau berkelanjutan.
Berdasarkan Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future, konsep dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri, secara umum, yaitu memenuhi semua kebutuhan dasar dan memperluas kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik; mempromosikan nilai-nilai yang dapat mendorong standar konsumsi yang masih berada dalam batas-batas ekologis; mensyaratkan bahwa masyarakat memenuhi kebutuhan manusia baik dengan meningkatkan potensi produktifnya maupun dengan menjamin kesempatan yang sama bagi semua manusia; perkembangan demografis berada dalam harmoni dengan potensi produktif perubahan ekosistem; berkompromi dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pokok di masa yang akan datang; tidak boleh membahayakan sistem alami yang mendukung kehidupan di Bumi: atmosfer, perairan, tanah, dan makhluk hidup; kepastian adanya akses yang adil terhadap sumber daya yang terbatas dan upaya reorientasi teknologi untuk mengurangi penyalahgunaan; sumber daya terbarukan perlu untuk tidak dihabiskan dengan cara memanfaatkannya dalam batas-batas agar dapat tetap melakukan regenerasi dan pertumbuhan alami; laju penurunan sumber daya tidak terbarukan harus diambilalih oleh beberapa pilihan masa depan sesegera mungkin; keharusan untuk melakukan konservasi spesies tumbuhan dan hewan; meminimalkan dampak buruk dari kualitas udara, air, dan elemen alam lainnya sehingga dapat menopang keseluruhan ekosistem; dan proses  perubahan dimana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan selaras dan meningkatkan potensi pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dalam beberapa literatur ada kesepakatan bahwa pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan hubungan terkait mengenai apa yang harus dipertahankan dengan apa yang harus dibangun, tetapi juga, penekanan sering berbeda yang dari “hanya mempertahankan” untuk “sebagian besar membangun” kepada berbagai bentuk dari “dan/atau.” Demikian pula, jangka waktunya, tegas dinyatakan bahwa definisi standar sebagai “sekarang dan dimasa mendatang,” telah berbeda secara luas. Ini telah ditetapkan dari yang sedikit dari generasi, dimana hampir semuanya berkelanjutan, hingga selamanya, padahal kenyataannya tidak ada yang berkelanjutan.
The 2002 World Summit on Sustainable Development, atau KTT Pembangunan Berkelanjutan, menandai perluasan lebih lanjut dari definisi standar dengan menggunakan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang telah banyak digunakan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Deklarasi Johannesburg menciptakan tanggung jawab kolektif untuk meningkatkan dan memperkuat saling ketergantungan dan pilar pembangunan berkelanjutan yang saling memperkuat yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan, pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global. Dengan demikian, KTT Pembangunan Berkelanjutan lebih menekankan kepada batasan-batasan kerangka kerja dari lingkungan dan pembangunan, dimana pembangunan secara luas dilihat sebagai pembangunan ekonomi. Bagi yang berada dibawah payung pembangunan berkelanjutan, seperti definisi yang lebih sempit dikaburkan oleh keprihatinan mereka untuk pembangunan manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Jadi, sementara tiga pilar tersebut diadopsi dengan cepat, tidak ada kesepakatan universal dalam detail atau rincian dari ketiga pilar tersebut. Apabila kita mencari website mengenai kalimat “three pillars of sustainable development” maka kita akan menemukan berbagai pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan perbedaan yang paling menonjol dalam menggambarkan pilar sosial. Ada tiga varian utama pembangunan sosial, masing-masing bertujuan sebagai kompensasi atas hilangnya elemen-elemen dalam fokus yang sempit dalam pembangunan ekonomi. Pertama yaitu hanya sebutan instan untuk sosial nano-ekonomi yang menggunakan istilah seperti misalnya “sosial,” “pembangunan sosial,” dan “kemajuan sosial.” Kedua menekankan kepada pembangunan manusia sebagai lawan dari pembangunan ekonomi: “pembangunan manusia,” “kesejahteraan manusia,” atau hanya “masyarakat.” Varian ketiga fokus kepada isu keadilan dan kesetaraan: “keadilan sosial,” “kesetaraan,” dan “pengentasan kemiskinan.”
Meskipun adanya kritik, setiap upaya untuk mendefinisikan adalah bagian yang penting dari dialog yang sedang berjalan. Bahkan, pembangunan berkelanjutan menarik banyak resonansinya, kekuasaan, dan kreativitasnya dari ambiguitasnya. antangan nyata dari dari pembangunan berkelanjutan setidaknya sebagai heterogen dan kompleks sebagai keragaman dalam masyarakat manusia dan ekosistem alam di seluruh dunia. Konsep dari berkelanjutan telah diadaptasi untuk mengatasi tantangan yang berbeda, mulai dari perencanaan kota yang berkelanjutan untuk mata pencaharian yang berkelanjutan, pertanian berkelanjutan untuk perikanan yang berkelanjutan, dan upaya untuk mengembangkan standar perusahaan dalam the UN Global Compact dan the World Business Council for Sustainable Development.
Meskipun dari definisi di atas tidak secara eksplisit menyebutkan lingkungan atau pembangunan, dalam paragraf berikutnya telah jelas. Mengenai pembangunan, laporan tersebut menyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah mendasar dan penting; bahwa pertumbuhan ekonomi, termasuk kesetaraan untuk berbagi sumber daya dengan orang miskin, tetap dibutuhkan untuk mempertahankan pembangunan; dan bahwa kesetaraan tersebut didorong  oleh partisipasi masyarakat yang efektif. Mengenai lingkungan, teksnya telah jelas, yaitu:
The concept of sustainable development does imply limits—not absolute limits but limitations imposed by the present state of technology and social organization on environmental resources and by the ability of the biosphere to absorb the effects of human activities.
Gerakan Corporate Responsibility atau Tanggung Jawab Perusahaan memiliki tiga dimensi: berbagai kampanye oleh LSM untuk mengubah perilaku lingkungan dan sosial; upaya perusahaan untuk berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dan untuk mengurangi dampak lingkungan dan sosial; dan inisitif internasional seperti misalnyathe UN Global Impact atau the world Business Council for Sustainable Development yang berusaha untuk memanfaatkan pengetahuan, energi, dan aktivitas perusahaan untuk lebih melayani alam dan masyarakat. Misalnya, secara global dipilih 100, perusahaan-perusahaan yang paling berkelanjutan di dunia, tiga teratas yaitu Toyota, yang terpilih karena kepemimpinannya dalam memperkenalkan kendaraan hybrid; Alcoa, atas manajemen material dan efisiensi energi; dan British Petroleum, karena kepemimpinannya dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, efisiensi energi, energi terbarukan, dan pengolahan dan penanganan limbah.
Sebagaimana dengan gerakan sosial lainnya, pembangunan berkelanjutan juga bertemu dengan oposisi. Para penentang dari pembangunan berkelanjutan menyerang dari dua perspektif yang sangat berbeda: Pada ujung spektrum yang satu adalah mereka yang melihat pembangunan berkelanjutan sebagai usaha dari atas ke bawah yang dilakukan oleh PBB untuk mendikte bagaimana orang di dunia harus menjalani hidup mereka, dan dengan demikian sebagai ancaman bagi kebebasan individu dan hak milik. Di sisi lain adalah mereka yang melihat pembangunan berkelanjutan sebagai kapitulasi yang berarti pembangunan seperti biasanya, yang didorong oleh kepentingan bisnis besar dan lembaga-lembaga multilateral dan hanya membayar “lip service” untuk keadilan sosial dan perlindungan terhadap alam.

Permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selalu berubah dan makin kompleks, seiring dengan makin bertambahnya tuntutan pembangunan yang akan dihadapi, sedangkan kemampuan dan sumber daya pembangunan yang tersedia cenderung terbatas. Sumber daya yang tersedia harus dioptimalkan oleh pemerintah untuk memenuhi tuntutan yang tidak terbatas dengan membuat pilihan dalam bentuk skala prioritas.
Pengalaman yang didapatkan selama ini merupakan modal utama dalam menyusun agenda dan strategi pembangunan. Beberapa indikator yang digunakan dalam mengukur keberhasilan pembangunan antara lain yaitu faktor yang bersifat diluar kendali pemerintah (eksogen), misalnya, yaitu kenaikan harga komoditas energi dapat mempunyai dampak positif terhadap pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi mengingat Indonesia masih tergolong sebagai negara produsen dan pengekspor energi neto. Sebaliknya, terjadinya bencana alam seperti gelombang panas El Nino seperti yang terjadi sebelum krisis ekonomi tahun 1997 dapat menghambat upaya peningkatan produksi pangan dan mempengaruhi kenaikan tingkat kemiskinan. Meskipun tidak dapat diperkirakan dengan pasti, beberapa perubahan yang disebabkan oleh faktor eksogen tersebut dapat dimitigasi dan diubah ke arah yang menguntungkan dengan kebijakan yang tepat.
Sumber utama kebijakan utama dari pembangunan di Indonesia semuanya bersumber kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hingga saat ini, UUD 1945 telah empat kali di amandemen, dimana konsep mengenai pembangunan berkelanjutan atau sustainable development baru dimasukkan dalam amandemen yang keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dengan adanya pengaturan mengenai hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia dan dengan di adopsinya prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan dalam UUD 1945 menjadikan konstitusi kita sudah bernuansa hijau (green constitution).  Istilah Green Constitution ini dapat kita lihat dalam Pasal 28 huruf A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Green Constitution ini dipandang perlu karena dianggap peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini dipandang masih belum mencukupi untuk memaksa para penentu kebijakan untuk tunduk dan mematuhi kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup. Dalam pertarungan antar sektor di pemerintahan, kepentingan lingkungan hidup, dalam praktik, sering dikalahkan oleh sektor-sektor atau kebijakan-kebijkan lain, seperti pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, investasi, pariwisata, dan lain sebagainya.
Beberapa hal penting dalam UUD 1945 tentang kekuasaan pasca Perubahan Keempat pada tahun 2002, yaitu mengenai konstitusionalisasi kebijakan ekonomi dan peningkatan status lingkungan hidup dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang dasar. Pada rumusan BAB XIV UUD 1945, yang terkait dengan konstitusionalisasi kebijakan ekonomi, semula hanya berjudul “Kesejahteraan Sosial,” akan tetapi sejak perubahan keempat pada tahun 2002, menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.” Untuk status lingkungan hidup dikaitkan dengan hak asasi manusia, dalam rumusan Pasal 28 huruf H ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Akibat dari konstitusionalisasi dari hak asasi manusia dalam UUD 1945, negara diwajibkan menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jadi, semua kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan harus mengikuti ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Para perancang dan perumus Pasal UUD 1945 sebelumnya belum membayangkan apa yang kemudian akan menjadi arus utama dalam pemikiran di abad ke-21 tentang lingkungan hidup dan pembangunan, yaitu adanya pengertian mengenai satu kesatuan ekosistem. Karena itu, yang penting bukan hanya bumi dan air sebagaimana disebut dalam UUD 1945, tetapi termasuk juga udara. Dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, kata “berkelanjutan” itu tersebut terkait dengan konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Hal ini terkait dengan perkembangan gagasan tentang pentingnya wawasan pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup yang sehat. Sebaliknya, prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, sebagaimana dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie yaitu “tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan hidup sebagai unsur utamanya, dan tidak ada wawasan lingkungan tanpa pembangunan berkelanjutan.”
Aktivitas ekonomi dalam masyarakat maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek. Jika keuntungan hari ini diperoleh melalui cara-cara atau langkah-langkah dan tindakan-tindakan yang dapat merusak potensi dan daya dukung alam, maka kegiatan tersebut yang dianggap dapat memberi manfaat untuk masa kini, dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Jika hal itu tercermin dalam perumusan kebijakan berarti kebijakan demikian dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional). Jika hal itu tercermin dalam tindakan-tindakan pemerintahan, maka hal demikian juga dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Secara konsep, pembangunan di Indonesia dimulai sejak tahun 1969 (Repelita), yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi baru di Indonesia yang terkait dengan permodalan, khususnya modal asing. Sebagaimana diketahui, kebijakan ini dimulai dengan diundangkannya UU No.1 tahun 1967 tentang Modal Asing dan UU No.6 tahun 1968 tentang Modal Dalam Negeri. Dalam Repelita yang pertama ini, aspek lingkungan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan belum masuk dalam konsep pembangunan pada saat itu, dan juga karena terkait dengan permasalahan ini masih menjadi perdebatan di forum PBB karena pada mulanya masalah lingkungan yang terkait dengan sustainable development ini, khususnya bagi negara berkembang, dikhawatirkan akan menghambat laju pembangunan yang sedang dilaksanakan. Hal ini berlangsung hingga tahun 1972, dimana pada saat itu dicapai kesepakatan tentang hubungan antara masalah lingkungan yang terkait dengan sustainable development dengan  pembangunan. Perkembangan ini telah mendorong dirumuskannya kembali konsep pembangunan Indonesia yang kemudian dikenal dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan (dimulai pada Repelita II, 1974),  dimana pada saat itu aspek lingkungan lebih ditekankan dibandingkan dengan aspek pembangunan lainnya.
Pengaruh dari konsep sustainable development juga berlanjut pada tahun 1982, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1982) dan dilanjutkan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997). Baik UUPLH 1982 maupun UUPLH 1997 pada dasarnya memiliki asas dan sasaran yang sama. Demikian pula dalam hal mengenai hak, kewajiban serta peran masyarakat dalam lingkungan hidup. Hanya penekanan prinsip dan cakupannya yang berbeda. Yang membedakan antara UUPLH 1982 dengan UUPLH 1997 yaitu karena adanya perkembangan di dunia, UUPLH 1997 telah mengadopsi prinsip-prinsip dari UN Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan yaitu konferensi khusus tentang lingkungan dan pembangunan yang dikenal sebagai Earth Summit atau KTT Bumi Pertama di Rio de Jeneiro, Brazil.
Mengenai hubungannya dengan hak dan kewajiban masyarakat, pada dasarnya kedua UU tersebut memiliki prinsip yang sama, yakni setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Demikian halnya dengan tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup yang memiliki kesamaan prinsip, kecuali mengenai prinsip sustainability yang menjadi salah satu sasaran pengelolaan lingkungan hidup yang digariskan oleh UUPLH 1997 (Pasal 4 huruf c).
Menurut UUPLH 1982, dalam Pasal 3 yang hanya memuat satu asas saja, yaitu asas pembangunan berkesinambungan (ecodevelopment), yang menyatakan bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.” Istilah pembangunan berkelanjutan tidak dinyatakan secara tersurat dalam UUPLH 1982, melainkan menggunakan istilah pembangunan yang berkesinambungan.
Prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang dianut oleh UUPLH 1997 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3:
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketiga prinsip di atas, yaitu prinsip tanggung jawab negara (state responsibility), prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), prinsip manfaat dengan tujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan saling terkait erat dan mencerminkan kepentingan-kepentingan yang terpadu (holistic) dalam berbagai dimensi.
Pengaturan terbaru terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yaitu diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 2009). Terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan, dapat kita lihat dalam Pasal 2 UUPLH 2009, mengenai asas, tujuan, dan ruang lingkup, yang berbunyi:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
  1. tanggung jawab negara;
  2. kelestarian dan keberlanjutan;
  3. keserasian dan keseimbangan;
  4. keterpaduan;
  5. manfaat;
  6. kehati-hatian;
  7. keadilan;
  8. ekoregion;
  9. keanekaragaman hayati;
  10. pencemar membayar;
  11. partisipatif;
  12. kearifan lokal;
  13. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
  14. otonomi daerah, dan Pasal 3 UUPLH 2009 mengenai tujuan, yang berbunyi:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a.       melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b.      menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c.       menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d.      menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e.       mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f.       menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g.      menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h.      mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.        mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j.        mengantisipasi isu lingkungan global.
Berdasarkan UUPLH 2009 ini, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup dan sebagai akibatnya, kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. UUPLH 2009 ini mewajibkan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, dalam melaksanakan pembangunan, terdapat prinsip pengarusutamaan yang menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini diarahkan untuk dapat tercermin di dalam keluaran pada kebijakan pembangunan, yang mencakup:
1.      Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan;
2.      Pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik; dan
3.      Pengarusutamaan gender.
Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini akan menjadi jiwa dan semangat yang mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di setiap bidang pembangunan. Dengan dijiwainya prinsip-prinsip pengarustamaan ini, pembangunan jangka menengah ini akan memperkuat upaya mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Agar sasaran pertumbuhan ekonomi dapat terpenuhi, pemerintah harus melaksanakan kebijakan makroekonomi yang terukur dan berhati-hati di berbagai bidang. Kebijakan-kebijakan di berbagai bidang untuk 2010-2014, yang nantinya akan menuju kepada suatu pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development, antara lain yaitu:
1.      Dalam bidang pendidikan, sasaran dari kebijakan pembangunan ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan, yang antara lain ditandai oleh menurunnya jumlah penduduk buta huruf; meningkatnya secara nyata presentase penduduk yang dapat menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun dan pendidikan lanjutan dan berkembangnya pendidikan kejuruan yang ditandai oleh meningkatnya jumlah tenaga terampil;
2.      Dalam bidang kesehatan, peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, antara lain, ditandai oleh meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi, dan kematian ibu melahirkan;
3.      Dalam bidang pangan, terciptanya kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014 ditandai dengan meningkatnya ketahanan pangan rakyat, berupa perbaikan status gizi ibu dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan, membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, terpelihara dan terus meningkatnya kemampuan swasembada beras dan komoditas pangan utama lainnya, menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah bawah, menjaga nilai tukar petani agar dapat menikmati kemakmuran, dan meningkatkan daya tawar komoditas Indonesia dan keunggulan komparatif (comparative advantage) dari sektor pertanian Indonesia di kawasan regional Asia dan Global;
4.      Dalam bidang energi, membangun ketahanan energi dengan mencapai diversifikasi energi yang menjamin keberlangsungan dan jumlah pasokan energi di seluruh Indonesia dan untuk seluruh penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda, meningkatkan penggunaan energi terbarukan (renewable energy) dan berpartispasi aktif dan memanfaatkan berkembangnya perdagangan karbon secara global, meningkatkan efisisensi konsumsi dan penghematan energi baik di lingkungan rumah tangga maupun industri dan sektor transportasi, dan memproduksi energi yang bersih dan ekonomis;
5.      Dalam bidang lingkungan hidup, sasaran yang hendak dicapai adalah perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam di perkotaan dan pedesaan, penahanan laju kerusakan lingkungan dengan peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan; peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu terus dilakukan program reboisasi, penghutanan kembali (reforestasi) dan program pengurangan emisi karbon;
6.      Dalam rangka mengatasi dampak pemanasan global, untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, Indonesia, pada tahun 2009, dalam pertemuan G 20 di Pitsburgh dan Konvensi Internasional tentang Perubahan Iklim di Copenhagen telah berinisitaif memberikan komitmen mitigasi dampak perubahan iklim berupa penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26% dari kondisi tanpa rencana aksi (business as usual – BAU) dengan usaha sendiri serta penurunan sebesar 41% dengan dukungan internasional. Upaya penurunan emisi GRK tersebut terutama difokuskan pada kegiatan-kegiatan kehutanan, lahan gambut, limbah dan energi yang didukung oleh langkah-langkah kebijakan di berbagai sektor dan kebijakan fiskal;
7.      Dalam bidang infrastruktur, meneruskan pembangunan dan pasokan infrastruktur yang ditunjukkan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai prasarana penunjang pembangunan seperti jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik, irigasi, air bersih dan sanitasi serta pos dan telekomunikasi; dan
8.      Dalam bidang usaha Kecil dan Menengah, langkah-langkah yang dilakukan adalah, meningkatkan dan memajukan usaha kecil menengah dengan menambah akses terhadap modal termasuk perluasan Kredit Usaha Rakyat (KUR), meningkatkan bantuan teknis dalam aspek pengembangan produk dan pemasaran, melaksanakan kebijakan pemihakan untuk memberikan ruang usaha bagi pengusaha kecil dan menengah, serta menjaga fungsi, keberadaan serta efisiensi pasar tradisional.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial (Oman).
Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.

 

II.3 Mewujudkan Pembangunan Indonesia Yang Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi salah satu isu penting dalam kebijakan pemerintah akhir – akhir ini. Definisi pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak ada henti-hentinya dengan tingkat hidup generasi yang akan datang tidak boleh lebih buruk atau bahkan lebih baik dari generasi saat ini. Menurunnya kualitas lingkungan, merebaknya bencana, serta makin tingginya kepadatan penduduk menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam menentukan rencana pembangunan di masa kini dan mendatang.  Pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi penurunan cadangan sumber daya alam di masa mendatang.
Masih segar dalam ingatan kita akan bencana alam yang datang silih berganti awal tahun ini. Dimulai dari bencana banjir yang melanda Jakarta, banjir bandang yang melumpuhkan jalur transportasi darat di pantura Jateng, musibah gunung meletus Sinabung dan Kelud, bencana tanah longsor di Jawa Barat sampai yang terbaru kabut asap yang menerpa Riau dan sekitarnya. Musibah gunung Sinabung dan Kelud memang bisa dianggap murni faktor alam, namun bencana banjir dan kabut asap yang terjadi tidak bisa lepas karena faktor pembangunan yang tidak memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang baik. Kerugian yang terjadi akibat bencana cukup berdampak signifikan bagi perekonomian riil masyarakat sehari-hari. Data resmi kerugian bencana yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerusakan akibat banjir di berbagai daerah di Indonesia mencapai Rp14,75 triliun. Kerusakan terbesar terjadi akibat banjir di Jalur Pantai Utara (Pantura). Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan kerugian dan kerusakan banjir Jakarta sebesar Rp5 triliun, kemudian kerusakan banjir dan longsor di 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah sebesar Rp2,01 triliun. Kerugian dan kerusakan banjir bandang di Sulut sebesar Rp1,74 triliun, kerugian dan kerusakan banjir di Pantura Jawa (dari Banten-Jabar-Jateng dan Jatim) Rp6 triliun seperti yang dirilis dalam situs Sekretaris Kabinet. Sedangkan untuk penanganan pascabencana banjir dan longsor di 16 kabupaten/kota di Jateng membutuhkan dana sebesar Rp3,59 triliun. Lalu penanganan pascabencana banjir bandang di Sulut membutuhkan Rp1,03 triliun.Padahal, dana cadangan penanggulangan bencana per tahun hanya tersedia Rp3 triliun. Dengan rincian, untuk darurat Rp1,5 triliun dan pascabencana Rp1,5 triliun guna penanganan bencana di seluruh Indonesia. 
Sedangkan kerugian ekonomi yang timbul akibat aksi pembalakan liar dan musibah kabut asap pun tidak kalah besarnya jika dibandingkan dengan kerugian banjir bandang. Dalam kurun waktu 5 tahun dari 2007-2012, kerugian Indonesia akibat pembalakan liar dan buruknya manajemen industri kehutanan mencapai sekitar 7 miliar dollar AS. Sepanjang 2012, negara hanya menerima sekitar 300 juta dollar AS dari royalti kayu serta dana reboisasi. Jumlah itu tidak sepadan dengan besarnya kerugian yang dialami.. Lebih khusus lagi kerugian langsung yang timbul akibat kabut asap adalah gangguan penerbangan. Asosiasi maskapai Indonesia National Air Carriers Association memprediksi kerugian sedikitnya Rp15 miliar akibat pembatalan dan penundaan sejumlah jadwal penerbangan di bandara Sultan Syarif Qasim II, Pekanbaru, Riau. Data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa kerugian akibat kesalahan pengelolaan lingkungan hidup berdampak signifikan bagi sektor riil masyarakat dan ekonomi negara secara umumnya.
II.3.1 Pentingnya Sumber Daya Alam dan Lingkungan Bagi Indonesia
Kekayaan  alam  merupakan  kumpulan  sumber  daya  yang berpotensi besar, yakni sumber daya terbarukan yang dapat dikelola untuk menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan, sedangkan  sumber  daya  tak-terbarukan  disalurkan  untuk menghasilkan modal SDM dan modal yang diproduksi. Karena itu, cara pengubahan modal alam menjadi bentuk modal lain itu penting bagi strategi pembangunan Indonesia.
II.3.1 Kebijakan Penghambat Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan rencana dan kebijakan yang bervisi maju dan bersifat jangka panjang. Hal ini memerlukan konsistensi dan keberanian dalam mengimplementasikannya di lapangan. Sayangnya ada beberapa kebijakan yang berpotensi menghambat pembangunan yang berkelanjutan seperti :
a.         Terlalu mengejar investasi masuk ke daerah tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan jangka panjang
b.         Mengabaikan pengembangan transportasi publik yang murah dan nyaman namun mengijinkan pengembangan mobil murah
c.         Tidak melakukan internalisasi biaya kerusakan lingkungan kedalam perencanaan pembangunan
d.        Rencana dan implementasi pembangunan kurang memperhatikan faktor perubahan iklim yang berdampak kepada ketahanan pangan dan kualitas sumber daya alam jangka panjang
e.         Lemahnya penegakan hukum untuk kasus perusakan lingkungan.
 II.3.3 Solusi untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Kompleksnya masalah yang dihadapi dalam perencanaan pembangunan sebaiknya disikapi oleh pemerintah dengan menyiapkan rencana pembangunan yang berkelanjutan dan lebih berorientasi pada jangka panjang. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan dengan cermat antara investasi yang masuk dengan resiko lingkungan jangka panjang yang harus ditanggung. Rusaknya infrastruktur jalan dan sanitasi akibat banjir menjadi biaya yang harus dibayar mahal oleh pemerintah dan warga masyarakat. Terkait upaya penghematan sumber daya alam khususnya bahan bakar sudah selayaknya transportasi publik yang bersifat massal seperti kereta api dibangun secara progresif, bukan malah memboroskan energi dengan kebijakan mobil murah walaupun dilabeli Low Cost Green Car. Internalisasi biaya kerusakan lingkungan juga sebaiknya dimasukkan dalam dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang digunakan sebagai acuan sehingga dampak positif dan negatif yang timbul sebagai akibat dari pengembangan wilayah dapat diantisipasi dengan baik. Insentif untuk pihak-pihak yang berkontribusi positif terhadap pelestarian sumber daya alam perlu ditingkatkan seperti pengurangan pajak untuk petani produktif dan insentif pascapanen. Langkah terpenting dari semua kebijakan ini adalah penegakan hukum bagi para pelaku perusakan lingkungan sesuai dengan Undang – undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup sehingga masyarakat tidak lagi ikut menanggung derita bencana akibat perusakan lingkungan.










BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masa depan kehidupan bangsa dan negara akan banyak sekali ditentukan oleh berbagai pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada saat ini. Apalagi pemerintah juga cenderung semakin liberal dalam melaksanakan kebijakannya. Sementara itu tuntutan untuk membangun secara berkelanjutan juga semakin meningkat selaras dengan semakin besarnya ongkos yang harus kita pikul dengan semakin rusaknya lingkungan hidup, yang dapat dilihat dengan semakin banyaknya bencana alam yang merenggut banyak nyawa dan material akhir-akhir ini. Oleh karena itu Indonesia tidak lagi dapat mengabaikan pelestarian lingkungan hidupnya. Trade off antara mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan generasi sekarang) dengan kepentingan jangka panjang (kepentingan anak cucu kita) harus segera diambil keputusannya. Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk kepentingan jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang yang akan hidup di Indonesia. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan SDA agar supaya keputusan apapun yang diambil akan menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan harus lah menjaga lingkungan hidup serta mempertimbangan aspek sosial masyarakat, Untuk itulah Indonesia sudah saatnya menyusun program pembangunan berkelanjutan secara terintegral agar supaya lebih efektif dalam menjaga lingkungan hidup kita. Namun demikian kebijakan dengan program yang baguspun tidaklah dapat menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa tantangan utama dalam pembangunan berkelanjutan adalah implementasi dari kebijakan yang diambil. Oleh karena itulah perlu disiapkan suatu environment agar tujuan pembangunan berkelanjutan berhasil. Dalam hal ini kebijakan ataupun program tersebut mesti mempertimbangkan baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya agar mudah diimplementasikan.
3.2 Saran
    Informasi mengenai pembangunan berkelanjutan dapat dicari di buku-buku yang relevan dan untuk mempercepat kami sebagai penulis menyarankan kepada pembaca untuk bisa membaca melalui Via Internet.











DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Baker, Susan., Kousis, Maria., Richardson, Dirk., and Young, Stephen. Ed. The Politics of Sustainable Development: Theory, Policy, and Practice within the European Union. London: Routledge, 1997.

Daly, Herman. “Transitions to a Sustainable System,” Beyond The Limits: Confronting Global Collapse, Envisioning a Sustainable FutureVermont: Chelsea Green Publishing Company, 1992.

Davis, JohnGreening Business: Managing for Sustainable Development. Massachusetts: Basil Blackwell, Ltd., 1991.

Ehrlich, Paul R. Dan Ehrlich, Anne H. One with Nineveh: Politics, Consumption, and the Human Future. Washington D.C.: Island Press, 2004.

Kates, Robert W.M. Parris, Thomas, dan Leiserowitz, Anthony A. What is Sustainable Development? Goals, Indicators, Values, and Practice.” http://www.hks.harvard.edu/sustsci/ists/docs/whatisSD_env_kates_0504.pdf. Diunduh 27 April 2014.

ND, Mukti FajarTanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional & BUMN di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Ed.2. Jakarta: Erlangga, 2004.

Silalahi, DaudHukum Lingkungan dalam Sistam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. Ed.3. Cet.1. Bandung: Alumni, 2001.