MAKALAH
PENGETAHUAN LINGKUNGAN
LANGKAH DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DI INDONESIA
OLEH
KELOMPOK 4
KHAERUNNISA
ARBIANUS SEMBA
MUH. MULIADI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbincangan tentang
“Pembangunan Berkelanjutan” atau “suistainable development” sebenarnya
bukanlah suatu hal yang baru baik lihat secara globalmaupun nasional.
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan
menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Namun dalam
pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya
masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan
pengaturan dan mempunyai banyak gejala pada tatanan implementasi
atau pelaksanaanya. Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang
berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang “memperhatikan”
dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan, dalam pelaksanaannya
sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN
Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar
pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan
(Soerjani, 1977: 66), menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas
masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana
dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).Dilaksanakannya
konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk
menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi.
Bertepatan dengan di
umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan
Dunia ke–2 “(The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal
1 Juni 1970, Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha
dan tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi
“proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat
diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup
manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970
menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha
“melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang
berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan
nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional,
berikut skala prioritasnya.
Amanat inilah yang kemudian dikembangkan
dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai
dasar-dasar atau cikal bakal konsep “Pembangunan Berkelanjutan. Pengeruh
Konferensi Stocholm ini terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari
perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan
terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di
Indonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disyahkan oleh resolusi
SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam
konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan
bahwa deklarasi dianggap sebagai “a first step in developing international
environment law” .
Bagi Indonesia konsep ini
sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru. Seminar Lingkungan Hidup
dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema yang sangat menarik “hanya dalam
lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya
dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal” oleh Otto S. Dinilai
sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di
Indonesia. Karena itu perbincangan tentang Pembangunan Berkelanjutan sudah
dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hingga
sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik.
1.2 Batasan
permasalahan
Berdasarkan uraian diatas
bahwasannya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan
menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Adapun yang dikaji
didalam makalah ini adalah hubungan antara pembangunan berkelanjutan kebijakan-kebiijakan nya.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini untuk memenuhi syarat dalam
perkuliahan dan juga sebagai pembelajaran bagi mahasiswa untuk dapat membuat
suatu hasil dari pemikiran dan dijadikan dalam bentuk makalah.Kudian tujuan isi
dari makalah ini adalah mengetahui pembanguan berkelanjutan di Indonesia
dan langkah maupun kebijakan yang dikeluarkannya serta dampaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi
menjadikan pertumbuhan ekonomi itu berada di atas manusia dan ekologi yang
menjadi tumpuan kesejahteraan manusia. Aktivitas perusahaan hanya dilakukan
untuk meningkatkan keuntungan pribadi, tanpa memperdulikan persoalan lingkungan
hidup dan kepentingan masyarakat umum. Perusahaan demikian merupakan perusahaan
yang menggunakan paradigma ekonomi konvensional. Berdasarkan paradigma
konvensional, sumber kekayaan alam dikeruk tanpa memikirkan generasi yang akan datang.
Kekayaan bumi ditambang habis, hutan digunduli, air sungai, dan laut dicemari.
Semua hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Untuk itu diperlukan visi pembangunan yang mendahulukan kesejahteraan bagi
masyarakat.
Visi pembangunan yang mendahulukan kesejahteraan bagi
masyarakat, biasa dikenal dengan nama pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), yang dijelaskan oleh Korten sebagai berikut:
Adalah
proses pembangunan dimana anggota masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan
dan institusionalnya untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya dan
menghasilkan perbaikan perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas
hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri.
Pembangunan berkelanjutan dapat dilihat
sebagai suatu gerakan sosial, “suatu kelompok masyarakat dengan ideologi yang
sama yang secara bersama-sama mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan umum
tertentu.” Tapi yang mendasari partisipasi ini dalam acara formal internasional
mengenai pembangunan berkelanjutan adalah sejumlah gerakan sosial yang berjuang
untuk mengidentifikasi apa arti dari pembangunan berkelanjutan dalam konteks
tempat dan masyarakat yang spesifik atau khusus. Gerakan semacam itu adalah
usaha dari beberapa komunitas, negara, provinsi, atau daerah untuk terlibat
dalam komunitas latihan untuk mendefinisikan masa depan berkelanjutan yang
diinginkan dan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Tiga upaya terkait dengan gerakan
dimaksud di atas adalah gerakan mata pencaharian yang berkelanjutan, gerakan
solidaritas global, dan gerakan tanggung jawab perusahaan. Gerakan untuk mata
pencaharian yang berkelanjutan berupa inisiatif lokal dalam menciptakan
kesempatan kerja dan penghasilan yang menawarkan alternatif yang berkelanjutan
dan sesuai terhadap proses pembangunan dan modernisasi saat ini. Contohnya
yaitu kewajiban mengharuskan pembayaran “upah hidup” daripada upah minimum.
Gerakan solidaritas global berupaya untuk mendukung warga miskin di negara
berkembang. Kampanye tersebut dianggap sebagai antiglobalisasi atau
“globalisasi dari bawah” dengan melakukan penilaian yang kritis terhadap
lembaga internasional besar, dalam gerakan pembatalan utang, dan dalam kritik
mengenai kebijakan negara maju, seperti misalnya subsidi pertanian, yang secara
signifikan berdampak kepada negara berkembang dan khususnya warga miskin.
Sustainable development atau
pembangunan berkelanjutan pada intinya yaitu melihat dunia sebagai suatu
sistem, yaitu sistem yang menghubungkan ruang udara, dan waktu. Pada saat kita
memahami bahwa dunia ini merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dengan
ruang udara, kita akan memahami bahwa polusi udara yang berasal dari Amerika
Utara akan mempengaruhi kualitas udara di Asia, dan pestisida yang disemprotkan
di Argentina dapat merusak atau meracuni stok ikan yang berada di lepas pantai
Australia, sedangkan pada saat kita memahami dunia sebagai suatu sistem antar
waktu, kita akan mulai menyadari bahwa cara bertani pada masa lalu di sebidang
tanah akan terus mempengaruhi praktek pertanian hingga sekarang dan kebijakan
ekonomi yang kita dorong sekarang akan memiliki akibat terhadap kemiskinan kota
pada saat anak-anak kita dewasa.
Harus juga dipahami bahwa kualitas
hidup juga merupakan bagian dari suatu sistem. Kualitas hidup sebagaimana dimaksud
di atas dapat kita ilustrasikan bahwa tidak bagus apabila kita secara fisik
sehat tetapi miskin dan tidak memiliki akses ke pendidikan, tidak baik apabila
memiliki penghasilan yang cukup tetapi sebagian udara yang kita hirup tidak
bersih, dan kebebasan beribadah menjadi tidak penting apabila kita tidak dapat
menafkahi keluarga kita. Konsep sustainable development berakar
pada sistem pemikiran sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut akan membantu
kita untuk memahami diri dan dunia kita.
Untuk memahami mengenai pembangunan
berkelanjutan, berikut ini pernyataan dari Paul R. Ehrlich dan Anne H.
Ehrlich mengenai hubungan antara aktivitas manusia dan alam:
Human beings and the natural world are on a collision
course. Human activities inflict harsh and often irreversible damage on the
environment and on critical resources. If not checked, many of our current
practices put at serious risk the future that we wish for human society and the
plant and animal kingdoms, and may so alter the living world that it will be
unable to sustain life in the manner that we know. Fundamental changes are
urgent if we are to avoid the collision our present course will bring about.
Dari pernyataan Paul dan Anne Ehrlich
di atas, pada intinya menyatakan bahwa umat manusia dan dunia alam berada dalam
jalur yang bertabrakan. Aktivitas manusia menimbulkan kerusakan yang berat
terhadap lingkungan dan sumber daya yang penting dan bahkan tidak dapat di
kembalikan kepada keadaan semula. Apabila tidak diperhatikan, maka aktivitas
manusia tersebut dapat mengakibatkan resiko yang besar bagi masa depan manusia,
tanaman, dan hewan. Dalam lingkup dan pengertian negara, aktivitas tersebut
dapat dikatakan pembangunan.
Suatu pemahaman mengenai ide yang
kompleks dari pembangunan berkelanjutan lebih baik dilakukan dengan menggunakan
pendekatan yang membandingkan asumsi pokok dan kepercayaan atas pembangunan
ekonomi konvensional yang mempengaruhi keberlanjutan. Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Schumacher secara terus menerus, dan sebagai konsekuensi
praktis, masing-masing pernyataan berikut adalah keliru:
1. Meningkatkan
pertumbuhan transaksi finansial dengan tidak pandang bulu akan menghasilkan
keuntungan dan kesejahteraan bagi semua orang. (Padahal kenyataannya adalah
kita dapat melihat bahwa hal tersebut malah memperlebar jurang antara yang kaya
dan yang miskin, dan hanya sebagian kecil dari populasi dunia yang menikmati
hasilnya karena teori “trickle-down” tidak berfungsi.
2. Sumber daya
alam dipercaya tidak terbatas, dan dapat dieksploitasi tanpa syarat; begitu
juga dengan lingkungan yang tidak terbatas dalam kapasitasnya menopang
aktivitas manusia dalam segala bentuknya. (Konsekuensi adalah bahwa sumber daya
tida terbarukan yang penting cepat habis, dan lingkungan menjadi tidak stabil
oleh aktivitas seperempat populasi dunia).
3. Industri padat
modal secara universal lebih efisien dan produktif dibandingkan dengan jasa
perbaikan dan rekondisi buruh yang padat karya. (Kenyataannya yaitu sistem
industri padat modal yang telah berproduksi sangat boros dan merusak
lingkungan. Ia hanya ditopang beberapa kesalahan mendasar dalam hal penilaian
terhadap produktivitas dan efisiensi).
4. Mencari nafkah
merupakan aktivitas yang pasti dilakukan. Semuanya dibutuhkan untuk memuaskan
pekerja adalah imbalan keuangan yang wajar; sifat pekerjaan yang dibutuhkan
tidak menjadi penting. (Konsekuensinya adalah kegagalan total untuk
mengoptimalkan kontribusi manusia untuk menciptakan kesejahteraan sebagai
gabungan dari manusia, uang, dan mesin. Upaya kreatif manusia lebih banyak yang
dapat ditawarkan, apabila terorganisasi dan digunakan dengan benar, baik kepada
ekonomi dan untuk kepuasan pribadi).
5. Orang mempunyai
rasa lapar yang tidak terbatas untuk memiliki. Selama mereka menyesuaikan diri
dengan perubahan mereka adalah tanda yang dapat diterima dari status sosial dan
makna pokok dari kepuasan pribadi. (Kenyataannya, sebagaimana dinyatakan oleh
Fred Hirsch, nilai yang diletakkan oleh individu pada keinginan tertentu
menurun dengan semakin luasnya mereka berbagi dengan orang lain. Pada saat
keinginan menjadi frustasi mereka kehilangan daya tariknya, dan hidup menjadi
serangkaian frustasi. Saat materi yang diinginkan telah dipuaskan, pemenuhan
diri harus diperoleh dengan cara yang non-materi).
6. Selama
pertumbuhan dan/atau akibat yang baik didapatkan dengan melakukan penghematan,
orang secara umum tidak terlalu peduli terhadap siapa yang berinvestasi maupun
dengan tujuan apa niat mereka melayani. (Konsekuensinya yaitu kekuatan
finansial perorangan telah diberikan kepada lembaga-lembaga keuangan
non-perorangan; mereka menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri, yang sering
tidak sesuai dengan keinginan nyata dari individu atau kebaikan masyarakat
secara umum. Skema investasi yang etis mengindikasikan bahwa semakin banyak
orang yang tidak senang menyerahkan pilihan investasi seluruhnya di tangan
orang lain).
The World
Scientist’ Warning to Humanity secara eksplisit menyatakan
tentang apa yang dibutuhkan untuk menghindari tabrakan sebagaimana dimaksud di
atas da
n mencapai
hasil yang diinginkan, terutama terkait dengan pencapaian tujuan dari sustainable
development. Tindakan yang harus diambil dalam lima bidang yang terkait
erat, yang dibutuhkan untuk menghindari tabrakan tersebut, yaitu:
1. Mengontrol atau
mengendalikan aktivitas yang dapat merusak lingkungan. Contohnya yaitu, beralih
dari bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan
terbarukan untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan polusi terhadap udara dan
air.
2. Mengatur
penggunaan sumber daya yang penting bagi kesejahteraan manusia dengan lebih
efektif.
3. Menstabilkan
populasi, sehingga dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi. Cara yang
digunakan, salah satunya, yaitu program keluarga berencana yang efektif dan
sukarela.
4. Mengurangi dan
bahkan pada akhirnya menghapuskan kemiskinan.
5. Memastikan
kesetaraan gender dan menjamin kontrol wanita atas keputusan mereka mengenai
reproduksi.
Sedangkan berdasarkan analisis struktural
sistem dunia, pedoman umum sederhana untuk merestrukturisasi sistem dunia
menuju keberlanjutan, tahapannya yaitu:
1. Meningkatkan
tanda-tanda, dengan cara meningkatkan pengawasan terhadap kesejahteraan umat
manusia dan sumber daya lokal dan planet;
2. Mempercepat
waktu respon, yaitu secara aktif memperhatikan tanda-tanda yang mengindikasikan
bahwa lingkungan sedang berada dalam kondisi tertekan;
3. Meminimalkan
penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan;
4. Mencegah
terkikisnya sumber daya terbarukan;
5. Menggunakan
semua sumber daya yang ada dengan efisiensi maksimum; dan
6. Memperlambat
dan pada akhirnya menghentikan angka pertumbuhan populasi dan modal fisik.
Modal alam, sama seperti modal yang
diciptakan oleh manusia misalnya pabrik-pabrik dan lain-lain, juga menghasilkan
manfaat bagi umat manusia. Modal alam seperti misalnya tanah pertanian, hutan,
sumber mata air, stok ikan, dan tanah basah, normalnya termasuk dalam sumber
daya terbarukan, tetapi saat ini menghilang atau berkurang pada tingkat yang
mengkhawatirkan karena diubah menjadi sumber daya yang tidak terbarukan. Memang
jelas bahwa karena memperoleh posisi dominan dalam planet, umat manusia
mengkonsumsi warisan modal alam yang berlimpah dalam jumlah yang besar. Banyak
konsekuensi kerusakan lingkungan, termasuk kemungkinan goyahnya ketahanan
pangan, dapat berasal dari hilangnya modal alam. Dan ironisnya, banyak
hilangnya modal alam disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh
pertanian itu sendiri, yang usahanya rentan terhadap kerusakan lingkungan.
Faktor penyebab utama dari dampak
lingkungan yang terjadi yaitu pengaturan sosial tertentu, politik, dan ekonomi
yang memfasilitasi atau bahkan mendorong tingginya tingkat konsumsi. Semua
orang berkontribusi dalam jalur yang bertabrakan tersebut, tetapi beberapa
orang berkontribusi lebih dari yang lain, yaitu orang kaya di dunia dengan
kekayaan yang besar dan kekuatan kolektif mereka, bukan oleh orang miskin yang
merupakan mayoritas. Akibat dari ketidaksetaraan ini memiliki implikasi besar
terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan juga strategi yang berbeda yang
diperlukan dalam membangun masa depan yang sustainable atau
berkelanjutan.
Berdasarkan Report of the World
Commission on Environment and Development: Our Common Future, konsep dari
pembangunan berkelanjutan itu sendiri, secara umum, yaitu memenuhi semua
kebutuhan dasar dan memperluas kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik; mempromosikan nilai-nilai yang dapat mendorong standar konsumsi
yang masih berada dalam batas-batas ekologis; mensyaratkan bahwa masyarakat
memenuhi kebutuhan manusia baik dengan meningkatkan potensi produktifnya maupun
dengan menjamin kesempatan yang sama bagi semua manusia; perkembangan
demografis berada dalam harmoni dengan potensi produktif perubahan ekosistem;
berkompromi dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pokok di masa yang
akan datang; tidak boleh membahayakan sistem alami yang mendukung kehidupan di
Bumi: atmosfer, perairan, tanah, dan makhluk hidup; kepastian adanya akses yang
adil terhadap sumber daya yang terbatas dan upaya reorientasi teknologi untuk
mengurangi penyalahgunaan; sumber daya terbarukan perlu untuk tidak dihabiskan
dengan cara memanfaatkannya dalam batas-batas agar dapat tetap melakukan
regenerasi dan pertumbuhan alami; laju penurunan sumber daya tidak terbarukan
harus diambilalih oleh beberapa pilihan masa depan sesegera mungkin; keharusan
untuk melakukan konservasi spesies tumbuhan dan hewan; meminimalkan dampak
buruk dari kualitas udara, air, dan elemen alam lainnya sehingga dapat menopang
keseluruhan ekosistem; dan proses perubahan dimana eksploitasi sumber
daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan
kelembagaan selaras dan meningkatkan potensi pemenuhan kebutuhan dan keinginan
manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dalam beberapa literatur ada
kesepakatan bahwa pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan hubungan terkait
mengenai apa yang harus dipertahankan dengan apa yang harus dibangun, tetapi
juga, penekanan sering berbeda yang dari “hanya mempertahankan” untuk “sebagian
besar membangun” kepada berbagai bentuk dari “dan/atau.” Demikian pula, jangka
waktunya, tegas dinyatakan bahwa definisi standar sebagai “sekarang dan dimasa
mendatang,” telah berbeda secara luas. Ini telah ditetapkan dari yang sedikit
dari generasi, dimana hampir semuanya berkelanjutan, hingga selamanya, padahal
kenyataannya tidak ada yang berkelanjutan.
The 2002 World
Summit on Sustainable Development, atau KTT Pembangunan
Berkelanjutan, menandai perluasan lebih lanjut dari definisi standar dengan
menggunakan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang telah banyak digunakan:
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Deklarasi Johannesburg menciptakan tanggung
jawab kolektif untuk meningkatkan dan memperkuat saling ketergantungan dan
pilar pembangunan berkelanjutan yang saling memperkuat yaitu pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan, pada tingkat lokal,
nasional, regional, dan global. Dengan demikian, KTT Pembangunan Berkelanjutan
lebih menekankan kepada batasan-batasan kerangka kerja dari lingkungan dan
pembangunan, dimana pembangunan secara luas dilihat sebagai pembangunan
ekonomi. Bagi yang berada dibawah payung pembangunan berkelanjutan, seperti
definisi yang lebih sempit dikaburkan oleh keprihatinan mereka untuk
pembangunan manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Jadi, sementara tiga pilar tersebut
diadopsi dengan cepat, tidak ada kesepakatan universal dalam detail atau
rincian dari ketiga pilar tersebut. Apabila kita mencari website mengenai
kalimat “three pillars of sustainable development” maka kita akan
menemukan berbagai pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan perbedaan yang
paling menonjol dalam menggambarkan pilar sosial. Ada tiga varian utama
pembangunan sosial, masing-masing bertujuan sebagai kompensasi atas hilangnya
elemen-elemen dalam fokus yang sempit dalam pembangunan ekonomi. Pertama yaitu
hanya sebutan instan untuk sosial nano-ekonomi yang menggunakan istilah seperti
misalnya “sosial,” “pembangunan sosial,” dan “kemajuan sosial.” Kedua
menekankan kepada pembangunan manusia sebagai lawan dari pembangunan ekonomi:
“pembangunan manusia,” “kesejahteraan manusia,” atau hanya “masyarakat.” Varian
ketiga fokus kepada isu keadilan dan kesetaraan: “keadilan sosial,”
“kesetaraan,” dan “pengentasan kemiskinan.”
Meskipun adanya kritik, setiap upaya
untuk mendefinisikan adalah bagian yang penting dari dialog yang sedang
berjalan. Bahkan, pembangunan berkelanjutan menarik banyak resonansinya,
kekuasaan, dan kreativitasnya dari ambiguitasnya. antangan nyata dari dari
pembangunan berkelanjutan setidaknya sebagai heterogen dan kompleks sebagai keragaman
dalam masyarakat manusia dan ekosistem alam di seluruh dunia. Konsep dari
berkelanjutan telah diadaptasi untuk mengatasi tantangan yang berbeda, mulai
dari perencanaan kota yang berkelanjutan untuk mata pencaharian yang
berkelanjutan, pertanian berkelanjutan untuk perikanan yang berkelanjutan, dan
upaya untuk mengembangkan standar perusahaan dalam the UN Global
Compact dan the World Business Council for Sustainable
Development.
Meskipun dari definisi di atas tidak
secara eksplisit menyebutkan lingkungan atau pembangunan, dalam paragraf
berikutnya telah jelas. Mengenai pembangunan, laporan tersebut menyatakan bahwa
kebutuhan manusia adalah mendasar dan penting; bahwa pertumbuhan ekonomi,
termasuk kesetaraan untuk berbagi sumber daya dengan orang miskin, tetap
dibutuhkan untuk mempertahankan pembangunan; dan bahwa kesetaraan tersebut
didorong oleh partisipasi masyarakat yang efektif. Mengenai lingkungan,
teksnya telah jelas, yaitu:
The concept of sustainable development does imply
limits—not absolute limits but limitations imposed by the present state of
technology and social organization on environmental resources and by the
ability of the biosphere to absorb the effects of human activities.
Gerakan Corporate
Responsibility atau Tanggung Jawab Perusahaan memiliki tiga dimensi:
berbagai kampanye oleh LSM untuk mengubah perilaku lingkungan dan sosial; upaya
perusahaan untuk berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dan
untuk mengurangi dampak lingkungan dan sosial; dan inisitif internasional
seperti misalnyathe UN Global Impact atau the world
Business Council for Sustainable Development yang berusaha untuk
memanfaatkan pengetahuan, energi, dan aktivitas perusahaan untuk lebih melayani
alam dan masyarakat. Misalnya, secara global dipilih 100, perusahaan-perusahaan
yang paling berkelanjutan di dunia, tiga teratas yaitu Toyota, yang terpilih
karena kepemimpinannya dalam memperkenalkan kendaraan hybrid; Alcoa, atas
manajemen material dan efisiensi energi; dan British Petroleum, karena kepemimpinannya
dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, efisiensi energi, energi terbarukan,
dan pengolahan dan penanganan limbah.
Sebagaimana dengan gerakan sosial
lainnya, pembangunan berkelanjutan juga bertemu dengan oposisi. Para penentang
dari pembangunan berkelanjutan menyerang dari dua perspektif yang sangat
berbeda: Pada ujung spektrum yang satu adalah mereka yang melihat pembangunan
berkelanjutan sebagai usaha dari atas ke bawah yang dilakukan oleh PBB untuk
mendikte bagaimana orang di dunia harus menjalani hidup mereka, dan dengan
demikian sebagai ancaman bagi kebebasan individu dan hak milik. Di sisi lain
adalah mereka yang melihat pembangunan berkelanjutan sebagai kapitulasi yang
berarti pembangunan seperti biasanya, yang didorong oleh kepentingan bisnis besar
dan lembaga-lembaga multilateral dan hanya membayar “lip service” untuk
keadilan sosial dan perlindungan terhadap alam.
Permasalahan pembangunan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia selalu berubah dan makin kompleks, seiring dengan makin
bertambahnya tuntutan pembangunan yang akan dihadapi, sedangkan kemampuan dan
sumber daya pembangunan yang tersedia cenderung terbatas. Sumber daya yang
tersedia harus dioptimalkan oleh pemerintah untuk memenuhi tuntutan yang tidak
terbatas dengan membuat pilihan dalam bentuk skala prioritas.
Pengalaman yang didapatkan selama ini
merupakan modal utama dalam menyusun agenda dan strategi pembangunan. Beberapa
indikator yang digunakan dalam mengukur keberhasilan pembangunan antara lain
yaitu faktor yang bersifat diluar kendali pemerintah (eksogen), misalnya, yaitu
kenaikan harga komoditas energi dapat mempunyai dampak positif terhadap
pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi mengingat Indonesia masih tergolong
sebagai negara produsen dan pengekspor energi neto. Sebaliknya, terjadinya
bencana alam seperti gelombang panas El Nino seperti yang
terjadi sebelum krisis ekonomi tahun 1997 dapat menghambat upaya peningkatan
produksi pangan dan mempengaruhi kenaikan tingkat kemiskinan. Meskipun tidak
dapat diperkirakan dengan pasti, beberapa perubahan yang disebabkan oleh faktor
eksogen tersebut dapat dimitigasi dan diubah ke arah yang menguntungkan dengan
kebijakan yang tepat.
Sumber utama kebijakan utama dari
pembangunan di Indonesia semuanya bersumber kepada Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Hingga saat ini, UUD 1945 telah empat kali di amandemen, dimana konsep
mengenai pembangunan berkelanjutan atau sustainable development baru
dimasukkan dalam amandemen yang keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002. Dengan adanya pengaturan mengenai hak atas lingkungan sebagai hak asasi
manusia dan dengan di adopsinya prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dan berwawasan lingkungan dalam UUD 1945 menjadikan konstitusi
kita sudah bernuansa hijau (green constitution). Istilah Green Constitution ini
dapat kita lihat dalam Pasal 28 huruf A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Green
Constitution ini dipandang perlu karena dianggap peraturan
perundang-undangan yang ada sekarang ini dipandang masih belum mencukupi untuk
memaksa para penentu kebijakan untuk tunduk dan mematuhi kebijakan-kebijakan di
bidang lingkungan hidup. Dalam pertarungan antar sektor di pemerintahan,
kepentingan lingkungan hidup, dalam praktik, sering dikalahkan oleh
sektor-sektor atau kebijakan-kebijkan lain, seperti pertambangan dan energi,
kehutanan dan perkebunan, investasi, pariwisata, dan lain sebagainya.
Beberapa hal penting dalam UUD 1945
tentang kekuasaan pasca Perubahan Keempat pada tahun 2002, yaitu mengenai
konstitusionalisasi kebijakan ekonomi dan peningkatan status lingkungan hidup
dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang dasar.
Pada rumusan BAB XIV UUD 1945, yang terkait dengan konstitusionalisasi
kebijakan ekonomi, semula hanya berjudul “Kesejahteraan Sosial,” akan tetapi
sejak perubahan keempat pada tahun 2002, menjadi “Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial.” Untuk status lingkungan hidup dikaitkan dengan hak asasi
manusia, dalam rumusan Pasal 28 huruf H ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.” Akibat dari konstitusionalisasi dari hak asasi manusia dalam
UUD 1945, negara diwajibkan menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jadi, semua kebijakan dan
tindakan pemerintahan dan pembangunan harus mengikuti ketentuan mengenai hak
asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Para perancang dan perumus Pasal UUD
1945 sebelumnya belum membayangkan apa yang kemudian akan menjadi arus utama
dalam pemikiran di abad ke-21 tentang lingkungan hidup dan pembangunan, yaitu
adanya pengertian mengenai satu kesatuan ekosistem. Karena itu, yang penting
bukan hanya bumi dan air sebagaimana disebut dalam UUD 1945, tetapi termasuk
juga udara. Dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, kata “berkelanjutan” itu tersebut
terkait dengan konsep sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan. Hal ini terkait dengan perkembangan gagasan tentang pentingnya
wawasan pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup yang
sehat. Sebaliknya, prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan
dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, sebagaimana dinyatakan
oleh Jimly Asshiddiqie yaitu “tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa
lingkungan hidup sebagai unsur utamanya, dan tidak ada wawasan lingkungan tanpa
pembangunan berkelanjutan.”
Aktivitas ekonomi dalam masyarakat maupun
kegiatan kemasyarakatan lainnya tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan
jangka pendek. Jika keuntungan hari ini diperoleh melalui cara-cara atau
langkah-langkah dan tindakan-tindakan yang dapat merusak potensi dan daya
dukung alam, maka kegiatan tersebut yang dianggap dapat memberi manfaat untuk
masa kini, dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan. Jika hal itu tercermin dalam perumusan kebijakan berarti
kebijakan demikian dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional).
Jika hal itu tercermin dalam tindakan-tindakan pemerintahan, maka hal demikian
juga dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Secara konsep, pembangunan di Indonesia
dimulai sejak tahun 1969 (Repelita), yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan
ekonomi baru di Indonesia yang terkait dengan permodalan, khususnya modal
asing. Sebagaimana diketahui, kebijakan ini dimulai dengan diundangkannya UU
No.1 tahun 1967 tentang Modal Asing dan UU No.6 tahun 1968 tentang Modal Dalam
Negeri. Dalam Repelita yang pertama ini, aspek lingkungan yang terkait dengan
pembangunan berkelanjutan belum masuk dalam konsep pembangunan pada saat itu,
dan juga karena terkait dengan permasalahan ini masih menjadi perdebatan di
forum PBB karena pada mulanya masalah lingkungan yang terkait dengan sustainable
development ini, khususnya bagi negara berkembang, dikhawatirkan akan
menghambat laju pembangunan yang sedang dilaksanakan. Hal ini berlangsung
hingga tahun 1972, dimana pada saat itu dicapai kesepakatan tentang hubungan
antara masalah lingkungan yang terkait dengan sustainable development dengan
pembangunan. Perkembangan ini telah mendorong dirumuskannya kembali konsep
pembangunan Indonesia yang kemudian dikenal dengan pembangunan yang berwawasan
lingkungan (dimulai pada Repelita II, 1974), dimana pada saat itu aspek lingkungan lebih
ditekankan dibandingkan dengan aspek pembangunan lainnya.
Pengaruh dari konsep sustainable
development juga berlanjut pada tahun 1982, yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1982) dan dilanjutkan dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH 1997). Baik UUPLH 1982 maupun UUPLH 1997 pada dasarnya
memiliki asas dan sasaran yang sama. Demikian pula dalam hal mengenai hak,
kewajiban serta peran masyarakat dalam lingkungan hidup. Hanya penekanan
prinsip dan cakupannya yang berbeda. Yang membedakan antara UUPLH 1982 dengan
UUPLH 1997 yaitu karena adanya perkembangan di dunia, UUPLH 1997 telah
mengadopsi prinsip-prinsip dari UN Conference on Environment and
Development (UNCED) atau Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan
Pembangunan yaitu konferensi khusus tentang lingkungan dan pembangunan yang dikenal
sebagai Earth Summit atau KTT Bumi Pertama di Rio de Jeneiro,
Brazil.
Mengenai hubungannya dengan hak dan
kewajiban masyarakat, pada dasarnya kedua UU tersebut memiliki prinsip yang
sama, yakni setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat, hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Demikian halnya dengan tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup yang
memiliki kesamaan prinsip, kecuali mengenai prinsip sustainability yang
menjadi salah satu sasaran pengelolaan lingkungan hidup yang digariskan oleh
UUPLH 1997 (Pasal 4 huruf c).
Menurut UUPLH 1982, dalam Pasal 3 yang
hanya memuat satu asas saja, yaitu asas pembangunan berkesinambungan (ecodevelopment),
yang menyatakan bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.” Istilah
pembangunan berkelanjutan tidak dinyatakan secara tersurat dalam UUPLH 1982, melainkan
menggunakan istilah pembangunan yang berkesinambungan.
Prinsip pengelolaan lingkungan hidup
yang dianut oleh UUPLH 1997 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3:
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan
asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketiga prinsip di atas, yaitu prinsip
tanggung jawab negara (state responsibility), prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development), prinsip manfaat dengan tujuan
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan saling terkait
erat dan mencerminkan kepentingan-kepentingan yang terpadu (holistic)
dalam berbagai dimensi.
Pengaturan terbaru terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup yaitu diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH
2009). Terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan, dapat kita lihat dalam
Pasal 2 UUPLH 2009, mengenai asas, tujuan, dan ruang lingkup, yang berbunyi:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
- tanggung
jawab negara;
- kelestarian
dan keberlanjutan;
- keserasian
dan keseimbangan;
- keterpaduan;
- manfaat;
- kehati-hatian;
- keadilan;
- ekoregion;
- keanekaragaman
hayati;
- pencemar
membayar;
- partisipatif;
- kearifan
lokal;
- tata
kelola pemerintahan yang baik; dan
- otonomi
daerah,
dan Pasal 3 UUPLH 2009 mengenai tujuan, yang
berbunyi:
Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan,
kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
h. mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.
mewujudkan pembangunan berkelanjutan;
dan
j.
mengantisipasi isu lingkungan global.
Berdasarkan UUPLH 2009 ini, penggunaan
sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup dan sebagai akibatnya, kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan
harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan
mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. UUPLH 2009 ini mewajibkan
Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan
perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana
dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan
bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana,
dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan
rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, dalam melaksanakan pembangunan,
terdapat prinsip pengarusutamaan yang menjadi landasan operasional bagi seluruh
pelaksanaan pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini diarahkan untuk
dapat tercermin di dalam keluaran pada kebijakan pembangunan, yang mencakup:
1. Pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan;
2. Pengarusutamaan
tata kelola pemerintahan yang baik; dan
3. Pengarusutamaan
gender.
Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini
akan menjadi jiwa dan semangat yang mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di
setiap bidang pembangunan. Dengan dijiwainya prinsip-prinsip pengarustamaan
ini, pembangunan jangka menengah ini akan memperkuat upaya mengatasi berbagai
permasalahan yang ada.
Agar sasaran pertumbuhan ekonomi dapat
terpenuhi, pemerintah harus melaksanakan kebijakan makroekonomi yang terukur
dan berhati-hati di berbagai bidang. Kebijakan-kebijakan di berbagai bidang
untuk 2010-2014, yang nantinya akan menuju kepada suatu pembangunan yang
berkelanjutan atau sustainable development, antara lain yaitu:
1. Dalam bidang
pendidikan, sasaran dari kebijakan pembangunan ditujukan untuk meningkatkan
akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan, yang
antara lain ditandai oleh menurunnya jumlah penduduk buta huruf; meningkatnya
secara nyata presentase penduduk yang dapat menyelesaikan program wajib belajar
9 tahun dan pendidikan lanjutan dan berkembangnya pendidikan kejuruan yang
ditandai oleh meningkatnya jumlah tenaga terampil;
2. Dalam bidang
kesehatan, peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, antara
lain, ditandai oleh meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya tingkat
kematian bayi, dan kematian ibu melahirkan;
3. Dalam bidang
pangan, terciptanya kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014
ditandai dengan meningkatnya ketahanan pangan rakyat, berupa perbaikan status
gizi ibu dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan, membaiknya akses
rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, terpelihara dan terus
meningkatnya kemampuan swasembada beras dan komoditas pangan utama lainnya,
menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok pendapatan
menengah bawah, menjaga nilai tukar petani agar dapat menikmati kemakmuran, dan
meningkatkan daya tawar komoditas Indonesia dan keunggulan komparatif (comparative
advantage) dari sektor pertanian Indonesia di kawasan regional Asia
dan Global;
4. Dalam bidang
energi, membangun ketahanan energi dengan mencapai diversifikasi energi yang
menjamin keberlangsungan dan jumlah pasokan energi di seluruh Indonesia dan
untuk seluruh penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda,
meningkatkan penggunaan energi terbarukan (renewable energy) dan
berpartispasi aktif dan memanfaatkan berkembangnya perdagangan karbon secara
global, meningkatkan efisisensi konsumsi dan penghematan energi baik di
lingkungan rumah tangga maupun industri dan sektor transportasi, dan
memproduksi energi yang bersih dan ekonomis;
5. Dalam bidang
lingkungan hidup, sasaran yang hendak dicapai adalah perbaikan mutu lingkungan
hidup dan pengelolaan sumber daya alam di perkotaan dan pedesaan, penahanan
laju kerusakan lingkungan dengan peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu terus
dilakukan program reboisasi, penghutanan kembali (reforestasi) dan program
pengurangan emisi karbon;
6. Dalam rangka
mengatasi dampak pemanasan global, untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,
Indonesia, pada tahun 2009, dalam pertemuan G 20 di Pitsburgh dan Konvensi
Internasional tentang Perubahan Iklim di Copenhagen telah berinisitaif
memberikan komitmen mitigasi dampak perubahan iklim berupa penurunan emisi gas
rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26% dari kondisi tanpa rencana aksi
(business as usual – BAU) dengan usaha sendiri serta penurunan sebesar 41%
dengan dukungan internasional. Upaya penurunan emisi GRK tersebut terutama
difokuskan pada kegiatan-kegiatan kehutanan, lahan gambut, limbah dan energi
yang didukung oleh langkah-langkah kebijakan di berbagai sektor dan kebijakan
fiskal;
7. Dalam bidang
infrastruktur, meneruskan pembangunan dan pasokan infrastruktur yang
ditunjukkan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai prasarana
penunjang pembangunan seperti jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan laut,
pelabuhan udara, listrik, irigasi, air bersih dan sanitasi serta pos dan
telekomunikasi; dan
8. Dalam bidang
usaha Kecil dan Menengah, langkah-langkah yang dilakukan adalah, meningkatkan
dan memajukan usaha kecil menengah dengan menambah akses terhadap modal
termasuk perluasan Kredit Usaha Rakyat (KUR), meningkatkan bantuan teknis dalam
aspek pengembangan produk dan pemasaran, melaksanakan kebijakan pemihakan untuk
memberikan ruang usaha bagi pengusaha kecil dan menengah, serta menjaga fungsi,
keberadaan serta efisiensi pasar tradisional.
Pembangunan
berkelanjutan adalah
proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat,
dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan
berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah
satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan
ekonomi dan keadilan sosial (Oman).
Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT
Dunia 2005, yang menjabarkan
pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan
lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan
erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan
ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk
sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah,
karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.
II.3 Mewujudkan Pembangunan
Indonesia Yang Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
menjadi salah satu isu penting dalam kebijakan pemerintah akhir – akhir ini.
Definisi pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak ada
henti-hentinya dengan tingkat hidup generasi yang akan datang tidak boleh lebih
buruk atau bahkan lebih baik dari generasi saat ini. Menurunnya kualitas
lingkungan, merebaknya bencana, serta makin tingginya kepadatan penduduk
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam menentukan rencana
pembangunan di masa kini dan mendatang. Pembangunan berkelanjutan dan
ramah lingkungan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi penurunan cadangan sumber
daya alam di masa mendatang.
Masih segar dalam ingatan kita akan bencana alam yang datang
silih berganti awal tahun ini. Dimulai dari bencana banjir yang melanda
Jakarta, banjir bandang yang melumpuhkan jalur transportasi darat di pantura
Jateng, musibah gunung meletus Sinabung dan Kelud, bencana tanah longsor di
Jawa Barat sampai yang terbaru kabut asap yang menerpa Riau dan sekitarnya.
Musibah gunung Sinabung dan Kelud memang bisa dianggap murni faktor alam, namun
bencana banjir dan kabut asap yang terjadi tidak bisa lepas karena faktor
pembangunan yang tidak memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang baik.
Kerugian yang terjadi akibat bencana cukup berdampak signifikan bagi
perekonomian riil masyarakat sehari-hari. Data resmi kerugian bencana yang dirilis
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerusakan akibat
banjir di berbagai daerah di Indonesia mencapai Rp14,75 triliun. Kerusakan
terbesar terjadi akibat banjir di Jalur Pantai Utara (Pantura). Kepala
Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan kerugian
dan kerusakan banjir Jakarta sebesar Rp5 triliun, kemudian kerusakan banjir dan
longsor di 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah sebesar Rp2,01
triliun. Kerugian dan kerusakan banjir bandang di Sulut sebesar Rp1,74
triliun, kerugian dan kerusakan banjir di Pantura Jawa (dari
Banten-Jabar-Jateng dan Jatim) Rp6 triliun seperti yang dirilis dalam situs
Sekretaris Kabinet. Sedangkan untuk penanganan pascabencana banjir dan longsor
di 16 kabupaten/kota di Jateng membutuhkan dana sebesar Rp3,59 triliun. Lalu
penanganan pascabencana banjir bandang di Sulut membutuhkan Rp1,03
triliun.Padahal, dana cadangan penanggulangan bencana per tahun hanya tersedia
Rp3 triliun. Dengan rincian, untuk darurat Rp1,5 triliun dan pascabencana Rp1,5
triliun guna penanganan bencana di seluruh Indonesia.
Sedangkan kerugian ekonomi yang timbul akibat aksi
pembalakan liar dan musibah kabut asap pun tidak kalah besarnya jika
dibandingkan dengan kerugian banjir bandang. Dalam kurun waktu 5 tahun dari
2007-2012, kerugian Indonesia akibat pembalakan liar dan buruknya manajemen
industri kehutanan mencapai sekitar 7 miliar dollar AS. Sepanjang 2012,
negara hanya menerima sekitar 300 juta dollar AS dari royalti kayu serta dana
reboisasi. Jumlah itu tidak sepadan dengan besarnya kerugian yang dialami..
Lebih khusus lagi kerugian langsung yang timbul akibat kabut asap adalah
gangguan penerbangan. Asosiasi maskapai Indonesia National Air Carriers
Association memprediksi kerugian sedikitnya Rp15 miliar akibat pembatalan dan
penundaan sejumlah jadwal penerbangan di bandara Sultan Syarif Qasim II,
Pekanbaru, Riau. Data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa kerugian akibat
kesalahan pengelolaan lingkungan hidup berdampak signifikan bagi sektor riil
masyarakat dan ekonomi negara secara umumnya.
II.3.1
Pentingnya Sumber Daya Alam dan Lingkungan Bagi Indonesia
Kekayaan alam merupakan kumpulan
sumber daya yang berpotensi besar, yakni sumber daya terbarukan
yang dapat dikelola untuk menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan,
sedangkan sumber daya tak-terbarukan disalurkan
untuk menghasilkan modal SDM dan modal yang diproduksi. Karena itu, cara
pengubahan modal alam menjadi bentuk modal lain itu penting bagi strategi
pembangunan Indonesia.
II.3.1
Kebijakan Penghambat Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan rencana dan
kebijakan yang bervisi maju dan bersifat jangka panjang. Hal ini memerlukan
konsistensi dan keberanian dalam mengimplementasikannya di lapangan. Sayangnya
ada beberapa kebijakan yang berpotensi menghambat pembangunan yang
berkelanjutan seperti :
a.
Terlalu
mengejar investasi masuk ke daerah tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan
jangka panjang
b.
Mengabaikan
pengembangan transportasi publik yang murah dan nyaman namun mengijinkan
pengembangan mobil murah
c.
Tidak
melakukan internalisasi biaya kerusakan lingkungan kedalam perencanaan
pembangunan
d.
Rencana
dan implementasi pembangunan kurang memperhatikan faktor perubahan iklim yang
berdampak kepada ketahanan pangan dan kualitas sumber daya alam jangka panjang
e.
Lemahnya
penegakan hukum untuk kasus perusakan lingkungan.
II.3.3
Solusi untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Kompleksnya masalah yang dihadapi dalam perencanaan
pembangunan sebaiknya disikapi oleh pemerintah dengan menyiapkan rencana
pembangunan yang berkelanjutan dan lebih berorientasi pada jangka panjang.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan dengan cermat antara investasi yang
masuk dengan resiko lingkungan jangka panjang yang harus ditanggung. Rusaknya
infrastruktur jalan dan sanitasi akibat banjir menjadi biaya yang harus dibayar
mahal oleh pemerintah dan warga masyarakat. Terkait upaya penghematan sumber
daya alam khususnya bahan bakar sudah selayaknya transportasi publik yang
bersifat massal seperti kereta api dibangun secara progresif, bukan malah
memboroskan energi dengan kebijakan mobil murah walaupun dilabeli Low
Cost Green Car. Internalisasi biaya kerusakan lingkungan juga sebaiknya
dimasukkan dalam dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) yang digunakan sebagai acuan sehingga dampak positif dan
negatif yang timbul sebagai akibat dari pengembangan wilayah dapat diantisipasi
dengan baik. Insentif untuk pihak-pihak yang berkontribusi positif terhadap
pelestarian sumber daya alam perlu ditingkatkan seperti pengurangan pajak untuk
petani produktif dan insentif pascapanen. Langkah terpenting dari semua
kebijakan ini adalah penegakan hukum bagi para pelaku perusakan lingkungan
sesuai dengan Undang – undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup sehingga masyarakat tidak lagi ikut menanggung
derita bencana akibat perusakan lingkungan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masa depan kehidupan bangsa dan negara
akan banyak sekali ditentukan oleh berbagai pilihan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah pada saat ini. Apalagi pemerintah juga cenderung semakin liberal
dalam melaksanakan kebijakannya. Sementara itu tuntutan untuk membangun secara
berkelanjutan juga semakin meningkat selaras dengan semakin besarnya ongkos
yang harus kita pikul dengan semakin rusaknya lingkungan hidup, yang dapat
dilihat dengan semakin banyaknya bencana alam yang merenggut banyak nyawa dan
material akhir-akhir ini. Oleh karena itu Indonesia tidak lagi dapat
mengabaikan pelestarian lingkungan hidupnya. Trade off antara mengedepankan
kepentingan jangka pendek (kepentingan generasi sekarang) dengan kepentingan
jangka panjang (kepentingan anak cucu kita) harus segera diambil keputusannya.
Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk kepentingan jangka pendek, namun
harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang yang akan hidup di
Indonesia. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan SDA
agar supaya keputusan apapun yang diambil akan menggunakan perspektif jangka
panjang, mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu dalam
pembuatan kebijakan harus lah menjaga lingkungan hidup serta mempertimbangan
aspek sosial masyarakat, Untuk itulah Indonesia sudah saatnya menyusun program
pembangunan berkelanjutan secara terintegral agar supaya lebih efektif dalam
menjaga lingkungan hidup kita. Namun demikian kebijakan dengan program yang
baguspun tidaklah dapat menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak
bukti menunjukkan bahwa tantangan utama dalam pembangunan berkelanjutan adalah
implementasi dari kebijakan yang diambil. Oleh karena itulah perlu disiapkan
suatu environment agar tujuan pembangunan berkelanjutan berhasil. Dalam hal ini
kebijakan ataupun program tersebut mesti mempertimbangkan baik dari sisi
teknis, legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya agar mudah
diimplementasikan.
3.2 Saran
Informasi
mengenai pembangunan berkelanjutan dapat
dicari di buku-buku yang relevan dan untuk mempercepat
kami sebagai penulis menyarankan kepada pembaca untuk bisa membaca melalui Via
Internet.
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Green
Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Baker, Susan., Kousis, Maria., Richardson, Dirk., and Young, Stephen. Ed. The
Politics of Sustainable Development: Theory, Policy, and Practice within the
European Union. London: Routledge, 1997.
Daly, Herman. “Transitions to
a Sustainable System,” Beyond The Limits: Confronting Global Collapse,
Envisioning a Sustainable Future. Vermont:
Chelsea Green Publishing Company, 1992.
Davis, John. Greening Business: Managing for Sustainable Development. Massachusetts: Basil Blackwell, Ltd., 1991.
Ehrlich, Paul R. Dan Ehrlich, Anne H. One with Nineveh: Politics,
Consumption, and the Human Future. Washington
D.C.: Island Press, 2004.
Kates, Robert
W., M. Parris, Thomas, dan Leiserowitz, Anthony A. “What is Sustainable
Development? Goals, Indicators, Values, and Practice.” http://www.hks.harvard.edu/sustsci/ists/docs/whatisSD_env_kates_0504.pdf. Diunduh 27 April 2014.
ND, Mukti
Fajar. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di
Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional,
Swasta Nasional & BUMN di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Siahaan, N.H.T. Hukum
Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Ed.2. Jakarta: Erlangga, 2004.
Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistam Penegakan Hukum Lingkungan
di Indonesia. Ed.3. Cet.1. Bandung: Alumni, 2001.